Rabu, 18 Januari 2012

Tedhak Siten

LAPORAN HASIL OBSERVASI UPACARA TEDHAK SITI
DI DUKUH KENTINGAN, DESA PAKUMBULAN,
KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN

Kelompok 2
1.                   SUPRIYATI                                                  2601410001
2.                   RIRIN PRIHATININGTYAS                    2601410004
3.                   FAHMI ABDILLAH                                    2601410005
4.                   DANANG SEDYO LAKSONO                  2601410006
5.                   ESTHININGTYAS KINANTHI H.           2601410007
6.                   BANGKIT WIDYATMOKO                     2601410009
7.                   RIDZKY ERLIENDA YOUNANTI          2601410010
8.                   M. MIRZA ROFIQ                                       2601410017
9.                   AMITA WAHYU SURYANINGRUM     2601410019
10.               ARIE RETNONINGSIH                             2601410021
11.               ISNA FITRI OKTAVIANI                         2601410023

Rombel 1
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan ridha-Nya sehingga Laporan Hasil Observasi Upacara Tedhak Siti di Dukuh Kentingan, Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan ini dapat tersusun dan terselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Terselesaikannya laporan ini berkat dukungan dari berbagai pihak, baik dari keluarga, dosen pembimbing mata kuliah terkait dan seluruh teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Untuk itu kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas segala dukungan dan bantuannya.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan isi laporan ini dan semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat.


Semarang,       Desember 2011


Penyusun

 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                              i
DAFTAR ISI                                                                                                              ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang                                                                                                     1
1.2.   Rumusan Masalah                                                                                                2
1.3.   Tujuan Penulisan                                                                                                  2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Landasan Teori                                                                                                     4
2.2. Analisis Folklor Tedhak Siti                                                                                 6
2.3. Hasil Analisis Folklor Tedhak Siti                                                                        9
2.4. Tedhak Siti Menurut Narasumber dan Responden                                              11
2.4.1. Tedhak Siti Menurut Narasumber                                                                     11
2.4.2. Tedhak Siti Menurut Responden                                                                      13
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan                                                                                                          16
3.2. Saran                                                                                                                    16
DAFTAR PUSTAKA                                                                                              17
LAMPIRAN
1.      Surat Tugas
2.      Surat Izin
3.      Pedoman Pelaksanaan Observasi
4.    




BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Dewasa ini, keberagaman budaya di Indonesia makin berkembang, meskipun itu adalah budaya yang telah lama ada. Namun demikian, perkembangannya tidak meninggalkan aturan yang ada. Di antara tradisi yang beragam itu akan dibahas salah satu upacara adat yang terdapat di Jawa Tengah yang disebut dengan Tedhak Siti (Tedhak Siten). Upacara ini dilakukan untuk anak yang baru pertama kali belajar berjalan dan selalu ditunggu-tunggu oleh orang tua serta kerabat keluarga Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat dan bakat adik kita yang baru bisa berjalan. Tedhak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten” (berasal dari kata ‘siti’) yang berarti ‘bumi’.
Upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ini ada dua versi. Pertama, upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan dengan ritual lengkap, biasanya dilaksanakan di daerah keraton maupun daerah-daerah yang berada di sekeliling keraton. Karena keraton merupakan sumber dan pusat bahasa, kebudayaan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ke-Jawa-an. Upacara yang demikian membutuhkan biaya yang cukup besar karena banyaknya ubarampe yang digunakan. Kedua, upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan dengan sederhana, biasanya dilaksanakan di daerah-daerah yang jauh dari keraton selaku sumber kebudayaan. Upacara dengan model yang kedua ini lebih sederhana, sehingga biaya yang dibutuhkan tidak begitu besar. Meskipun demikian, pada dasarnya esensi keduanya sama, dan semuanya juga termasuk kebudayaan Jawa. Dalam tulisan ini, akan lebih condong pada pelaksanaan upacara Tedhak Siti secara sederhana. Hal tersebut karena objek penelitian kelompok kami adalah upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di daerah Pekalongan, dan daerah tersebut jauh dari sumber kebudayaan.
Pemilihan lokasi penelitian di Pekalongan karena mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya karena (1) meskipun warga masyarakat sekitar melestarikan tradisi tersebut, tapi mereka belum mengetahui makna apa yang terkandung di dalamnya (2) tradisi tersebut mulai tergerus jaman, sehingga masyarakat mulai mengabaikannya (3) pada waktu penelitian kelompok kami, di desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan ada pelaksanaan upacara Tedhak Siti.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.      Termasuk folklor apakah upacara Tedhak Siti di daerah Kab. Pekalongan?
2.      Apakah pengertian upacara Tedhak Siti di daerah Kab. Pekalongan?
3.      Bagaimana pelaksanaan upacara Tedhak Siti di Kab. Pekalongan?
4.      Bagaimana warga masyarakat Kab. Pekalongan memaknai upacara Tedhak Siti?
1.3       Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui termasuk folklore lisan, setengah lisan atau nonlisankah upacara Tedhak Siti itu
2.      Untuk mengetahui pengertian upacara Tedhak Siti di Kabupaten Pekalongan
3.      Mengetahui tentang pelaksanaan upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan
4.      Mengetahui bagaimana masyarakat Kabupaten Pekalongan memaknai upacara Tedhak Siti.
1.4       Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya :
1.4.1                    Manfaat Praktis
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan acuan untuk meningkatkan pengetahuan wawasan masyarakat, sehingga bisa menumbuhkan antusiasme dan kontribusi masyarakat dalam melestarikan budaya tersebut. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam pengambilan kebijakan otonomi.
1.4.2                    Manfaat Teoretis
Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu sarana latihan dalam menerapkan teori yang diperoleh selama berada di bangku perkuliahan. Mengetahui kondisi yang sebenarnya tentang bagaimana pelaksanaan upacara Tedhak Siti. Bagi pembaca, penelitian ini merupakan langkah awal wahana latihan dalam penelitian, tambahan referensi dan bahan kajian dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan terkait dengan pentingnya pelaksanaan upacara Tedhak Siti dan bagaimana warga masyarakat memaknainya. Penelitian ini juga diharapkan, dapat memberikan manfaat kepada masyarakat umum atau pengguna sekolah dalam memahami makna upacara Tedhak Siti agar lebih memperhatikan dan peduli kepada budaya warisan leluhur kita tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Landasan Teori
Kata folklor adalah peng-Indonesiaan dari Bahasa Inggris folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari kata dasar, yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes, kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sama yang dapat dibedakan dari kelompok sosial yang lainnya. Ciri-ciri pengenal itu adalah warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan dan agama, serta cerita rakyat yang telah memiliki tradisi secara turun temurun. Yang paling penting adalah mereka memiliki kesadaran akan identitas sebagai masyarakat.
Sedangkan kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Sehingga folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Menurut Kamus Istilah Sastra, Folklor adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun temurun tetapi tidak dibukukan; suatu budaya kolektif yang memiliki sejumlah ciri khas yang tidak dimiliki oleh budaya lain. Sedangkan menurut Kamus Besar Indonesia, Folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Ilmu yang menyelidiki adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Dengan kata lain, folklor adalah cerita rakyat yang masih dipercayai oleh masyarakat.

Adapun ciri-ciri folklor yaitu:

1.      Penyebaran dan pewarisannya secara lisan
2.      Bersifat tradisional
3.       Folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda
4.      Bersifat anonim (tanpa pengarang)
5.      Mempunyai bentuk berumus atau berpola
6.     Mempunyai manfaat dalam kehidupan bersama
7.     Bersifat pralogis (mempunyai logika sendiri yang berbeda dengan logika umum)
8.     Menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu
9.      Pada umumnya bersifat lugu dan polos, sehingga sering kali kelihatannya kasar atau terasa tidak sopan (cerita mentah).

Pada dasarnya folklor yang terdapat di daerah-daerah tersebut masih berbentuk kasar, belum diolah dengan bahasa yang mudah dipahami. Menurut Jan Harold Brunvand, ahli folklor dari Amerika Serikat, berdasarkan tipenya ada beberapa macam folklor, yaitu : folklor lisan, folklor setengah lisan, dan folklor bukan lisan.
a.       Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Contohnya :

-          Bahasa rakyat
-          Ungkapan tradisional
-          Pertanyaan tradisional
-          Puisi rakyat
-          Cerita prosa rakyat
-          Nyanyian-nyanyian rakyat

b.      Folklor sebagian (setengah) lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Folklor setengah lisan disebut juga fakta sosial. Contohnya :

-          Kepercayaan dan takhayul
-          Permainan dan hiburan rakyat setempat
-          Teater rakyat, seperti : lenong, ludruk, dan ketoprak
-          Tari rakyat, seperti tari tayuban dan jaran kepang
-          Adat kebiasaan, seperti sambatan dalam pembuatan rumah, gugur gunung dalam pembuatan jalan desa, pesta selamatan, dan khitan
-          Upacara tradisional, seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten
-          Pesta rakyat tradisional, seperti selamatan bersih desa dan selesai panen.

Pada kenyataannya, banyak masyarakat kita yang tidak mengetahui perihal folklor. Bahkan banyak pula yang terabaikan. Oleh karena itu, kami mencoba untuk melakukan observasi mengenai kondisi folklor yang ada di masyarakat. Dengan harapan kita bisa mengerti aktif tidaknya folklor tersebut. Selain itu kita juga bisa mengetahui seberapa jauh pemahaman masyarakat mengenai folklor yang ada di tempatnya, dan mengetahui pelaksanaan folklor secara nyata di lapangan.
2.2       Analisis Folklor Tedhak Siti
Tedhak Siti adalah suatu upacara dalam tradisi budaya Jawa yang dilakukan ketika anak pertama belajar jalan dan dilaksanakan pada usia yang berkisar tujuh bulan. Tedhak Siti berasal dari kata “Tedhak” yang berarti menapakkan kaki atau langkah, dan Siten yang berasal dari kata “siti” berarti tanah. Maka, Tedhak Siti adalah turun (ke) tanah atau mudhun lemah. Lengkapnya, tradisi ini diperuntukkan bagi bayi berusai 7 lapan atau 7 x 35 hari (245 hari). Jumlah selapan adalah 35 hari menurut perhitungan Jawa berdasarkan hari pasaran (Kliwon, Legi, Pahing, Pon,  Wage). Pada usia 245 hari, si anak mulai menapakkan kakinya pertama kali di tanah, untuk belajar duduk dan belajar berjalan. Ritual ini menggambarkan kesiapan seorang anak (bayi) untuk menghadapi kehidupannya. Biasanya diselenggarakan pada pagi hari, di halaman rumah. Selain itu, sajen tidak boleh dilupakan, melambangkan permintaan dan doa kepada Tuhan untuk memohon berkat dan perlindungan, berkat dari nenek moyang, memberantas kejahatan dari perbuatan buruk manusia dan semangat.
Tedhak Siti juga sebagai bentuk pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar si anak kelak siap dan sukses menapaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya dan sebagai wujud penghormatan terhadap siti (bumi) yang memberi banyak hal dalam kehidupan manusia.
Tahapan dalam upacara Tedhak Siti antara lain adalah:

1.      Membersihkan kaki
2.      Menginjak tanah
3.      Berjalan melewati tujuh wadah
4.      Tangga tebu wulung
5.      Masuk kurungan
6.      Memberikan uang
7.      Melepas ayam

Perlengkapan untuk ritual ini adalah  Jadah (tetel) tujuh warna, merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih, warna jadah tujuh rupa itu yaitu warna merah, putih, hitam, kuning, biru, jingga dan ungu. Bermakna sebagai simbol kehidupan yang akan dilalui oleh si anak, dari menapakkan kakinya pertama kali di bumi ini sampai dewasa, sedangkan warna-warna tersebut merupakan gambaran dalam kehidupan si anak akan menghadapi banyak pilihan dan rintangan. Jadah disusun mulai dari warna yang gelap ke terang, menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi si anak mulai dari yang berat sampai yang ringan, maksudnya seberat apapun masalahnya pasti ada titik terangnya yang disitu terdapat penyelesaiannya.
Selanjutnya tumpeng, merupakan nasi yang dibentuk seperti  kerucut  yang disajikan dengan urap sayur (hidangan yang terbuat dari sayur kacang panjang, kangkung dan kecampah yang diberi bumbu kelapa yang telah dikukus atau disangrai) dan ingkung ayam. Tumpeng melambangkan permohan orang tua kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur kangkung bermakna dimanapun si anak hidup, dia mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup mandiri.
Kurungan ayam yang dihiasi janur dan kertas warna-warni. Kurungan ayam yang dihiasi mempunyai makna di dunia nyata anak akan dihadapkan pada berbagai macam pilihan pekerjaan. Tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna, menyiratkan harapan agar si anak mampu berjuang  layaknya Arjuna yang terkenal  dengan tanggung jawabnya dan sifat perjuangannya. Dalam adat Jawa tebu kependekan dari antebing kalbu yang bermakna agar si anak dalam menjalani kehidupan ini dengan tekad kuat dan hati yang mantap.
Prosesi diawali dengan membimbing anak menapaki jadah 7 warna yang telah disusun berdasarkan warna  gelap ke terang. Lalu diarahkan untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu arjuna, selanjutnya si anak dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihiasi dan terdapat cincin, alat tulis, kapas, tasbih, dan lain sebagainya, mungkin bergantung dengan perkembangan  jaman kalau jaman sekarang ini bisa dimasukkan barang-barang IT (HP, notebook, PDA atau lainnya). Kemudian si anak di suruh mengambil salah satu dari barang tersebut, barang yang dipilih merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah dewasa.
Kemudian sebar beras kuning yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan, menggambarkan agar kelak ia menjadi anak yang dermawan dalam lingkungannya. Prosesi terakhir, si anak dimandikan dengan bunga setaman lalu mengenakan mengenakan baju yang baru. Tujuannya agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, berkehidupan layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya. Dalam acara Tedhak Siti, sesaji yang biasa digunakan antara lain kembang boreh, bubur baro-baro, macam-macam  bumbu dapur dan kinangan (bahan menginang). Bubur baro-baro adalah bubur yang terbuat dari bekatul, sesaji ini ditujukan untuk kakek nini among (plasenta/ari-ari). Sedangkan kembang boreh, macam-macam bumbu dapur dan kinangan, sesaji ini ditujukan untuk nenek moyang.
Selain sesaji juga ada pelengkap pendukung yaitu bubur merah putih (sengkala) yang melambangkan darah (bubur merah) dan air mani (bubur putih), kemudian ada juga jajanan pasar (jongkong, centil, grontol jagung, lopis, gatot dan tiwul) yang melambangkan dalam berkehidupan kita akan banyak berinteraksi dengan banyak orang dengan berbagai karakter sehingga si anak dapat mudah bersosialisasi. Selain itu terdapat aneka pala pendhem (aneka umbi-umbian) yang mempunyai  makna agar si anak mempunyai sifat andhap asor.
Setelah perlengkapan siap, ritual  pun dimulai. Si anak dimandikan dengan air kembang setaman. Setelah memakai pakaian baru, ia dibimbing ibunya menginjak jadah 7 warna. Selanjutnya dibimbing menaiki tangga yang dibuat dari tebu wulung berwarna ungu. Kemudian dimasukkan kedalam kurungan ayam berhias janur kuning dan hiasan lainnya. Dalam kurungan tersebut terdapat beberapa benda yang harus dipilih sang anak.
Meskipun demikian, tidak semua daerah di Jawa (khususnya Jawa Tengah) melaksanakan upacara Tedhak Siti dengan ritual yang lengkap sebagaimana dijelaskan diatas. Termasuk di daerah Kab. Pekalongan, upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di daerah tersebut lebih sederhana. Ubarampe yang dibutuhkan juga tidak sebanyak yang dijelaskan diatas. Sesuai dengan hasil observasi kelompok kami tentang pelaksanaan upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di Pekalongan, maka secara garis besar pelaksanaan upacara Tedhak Siti di sana adalah sebagaimana keterangan dibawah ini.
2.3       Hasil Analisis Folklor Tedhak Siti di Daerah Pekalongan
Kami mengambil contoh upacara Tedhak Siti yang dilaksanakan di daerah Pekalongan, dimana masyarakat setempat menyebutnya dengan Dhun-dhunan. Kebetulan, bayi yang di-Tedhak Siti adalah Yasmina Jua Adila, putri dari Bapak Subkhan dan Ibu Iklimah, yang lahir pada 30 April 2011.  Biasanya, upacara tersebut dilaksanakan pada pagi hari. Dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, dilaksanakan di halaman sekitar rumah si bayi dan dipimpin oleh dukun bayi (seorang wanita yang dianggap memiliki keahlian khusus untuk merawat ibu bayi dan bayinya sejak hamil sampai melahirkan, begitu pula saat prosesi Dhun-dhunan).
Prosesi upacara Dhun-dhunan di daerah Pekalongan:
1.      Dukun bayi menggendong bayi menuju tempat upacara dilaksanakan
2.      Dukun bayi mendoakan si bayi, dengan doa khusus berbahasa Jawa yang intinya agar si bayi selamat dari segala malapetaka
3.      Kemudian si bayi dimasukkan ke dalam kurungan yang telah disiapkan, dengan beberapa benda yang harus diambilnya, antara lain: tasbih, buku, alat tulis, cermin, uang, daun salam, Iqra’, dan perhiasan
4.      Bayi mengambil salah satu benda tersebut
5.      Setelah bayi mengambil salah satu barang, kemudian bayi dikeluarkan dari kurungan
6.      Kemudian dilanjutkan prosesi menyebar beras kuning beserta uang logam yang nanti diperebutkan oleh para masyarakat sekitar
7.      Setelah itu dibagikan bancaan bagi para tetangga si bayi
8.      Memandikan bayi
9.      Menyiapkan bubur candhil yang juga dibagikan kepada warga
10.  Sore hari setelah sholat Maghrib, diadakan acara barzanji (tetapi acara ini tidak wajib dilakukan, hanya masyarakat yang mampu dan menghendaki saja).
Ubarampe yang digunakan pada saat upacara Dhun-dhunan, yaitu :
1.      Kurungan, yang terbuat dari bambu yang dianyam sedemikian rupa (kurungan ayam)
2.      Bubur cadhil, yang terbuat dari tepung pati dan tepung beras, gula jawa, gula pasir
3.      Uang logam, 200-500 rupiah berjumlah 50.000 sampai 5.000.000 rupiah sesuai kemampuan perekonomian masing-masing masyarakat
4.      Nasi bancakan, yang terdiri dari nasi putih, urapan, dan ikan asin
5.      Benda-benda yang disediakan, antara lain : tasbih, buku, alat tulis, cermin, uang, daun salam, Iqra’, dan perhiasan. Dengan makna:
a.       Tasbih                     : diharapkan agar si bayi kelak akan menjadi orang yang pandai dalam beragama
b.      Buku                       `: diharapkan agar si bayi kelak menjadi orang pandai dan suka membaca
c.       Alat tulis                 : diharapkan agar si bayi pandai menulis
d.      Cermin                    : diharapkan agar si bayi pandai bersolek
e.       Uang                       : diharapkan agar si bayi menjadi orang yang kaya
f.       Daun salam           : diharapkan agar si bayi pandai memasak
g.      Iqra’                      : diharapkan agar si bayi pandai mengaji
h.     Perhiasan                 :diharapkan agar si bayi menjadi orang yang berkecukupan dan makmur dalam hidupnya.
Pelaksanaan Dhun-dhunan di daerah Pekalongan, bisa dilaksanakan di waktu lain, di luar usia 7 bulan. Hal ini dilakukan jika orang tua bayi belum memiliki biaya untuk melaksanakan upacara Dhun-dhunan tersebut. Namun ada waktu khusus untuk menggantinya, yaitu apabila bayi sudah dewasa (perempuan saat menikah dan laki-laki saat acara khitanan).
2.4              Tedhak Siti Menurut Narasumber dan Beberapa Responden
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai upacara Tedhak Siti di daerah tersebut, kami melakukan wawancara dengan narasumber dan beberapa responden. Berikut laporannya:
2.4.1        Hj. Sarmo’ah (dukun bayi), selaku narasumber.
Menyatakan bahwa Tedhak Siti adalah upacara memperingati usia tujuh lapan bayi (dalam bahasa Jawa disebut “pitung lapan” (35 x 7) ). Tedhak Siti masih dilaksanakan di daerah yang bersangkutan karena hal tersebut masih dipercaya dan masih menjadi adat serta sebagai rasa syukur karena sang anak sudah berusia tujuh bulan dan telah tiba waktunya untuk dikenalkan pada kehidupan dunia yang sebenarnya.
Sarana prasarananya yaitu, beras kuning (beras yang diberi kunir); bubur cadhil (terbuat dari tepung pati) berwarna merah gula jawa yang melambangkan rahim sang ibu dengan cadhilnya yang melambangkan si janin (usia empat bulan) menempel di perut sang ibu dan putih melambangkan kawah/air ketuban ibu; kurungan lambang ketahanan / perlindungan bagi si bayi sebelum ia benar-benar kenal dan dilepas ke dunia luar yang akan menjadi kehidupannya kelak; di dalam kurungan diletakkan beberapa benda dengan tujuan agar si bayi mengambil salah satu benda tersebut. Dari situ, dapat dikira-kira kelak si bayi akan menjadi apa dan bagaimana perangainya. Benda-benda yang diletakkan di dalam kurungan tersebut  antara lain: tasbih, Al-Quran, Iqra’, alat tulis, kaca, mainan dan perhiasan. Makna masing-masing benda, yaitu:

a.       Tasbih: ahli agama
b.      Al-Quran: religious
c.       Iqra’: rajin mengaji
d.     Alat tulis: gemar menulis, berpengetahuan luas
e.       Kaca: pesolek untuk mengetahui rupawan / menawan
f.       Mainan: kesenangan; gemar bermain

g.      Perhiasan: kemakmuran; hidup berkecukupan
Di samping  itu terdapat pula doa khusus yang diucapkan dengan bahasa Arab, namun juga bahasa Jawa dengan inti agar si bayi sehat jasmani rohani. Doa diucapkan saat bayi diturunkan / didekatkan ke tanah. Setelah itu, si dukun bayi menyebarkan uang logam kepada warga yang menyaksikan. Saat itu, kebanyakan anak kecil yang menyaksikannya. Uang tersebut terdiri atas logam seratusan hingga lima ratusan yang di campur dengan beras kuning tadi. Jumlah uang bergantung dari si pelaksana, bisa berjumlah Rp. 50.000,- hingga Rp. 5.000.000,-. Bahkan ada pula yang menyediakan door prize bagi warga yang menyaksikan. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian brekat (nasi dengan urap yang terdiri atas mie goreng, sayuran, ikan asin) yang ditempatkan pada daun pisang yang telah di pincuk sedemikian rupa.
Menurutnya, upacara ini disebarkan secara lisan dan sudah berbeda dengan upacara Tedhak Siti yang dulu karena berkembangnya jaman, dan tetap dilaksanakan secara turun temurun. Pelaksanaannya pun berbeda, bergantung dari pihak si pelaksana dan kondisi. Ada pula yang melaksanakan siang hari kemudian malamnya melaksanakan kenduri (slametan) telah dilaksanakannya Tedhak Siti. Proses pelaksanaannya sama antara bayi laki-laki dan perempuan.
Urutan pelaksanaan:
1.      Bayi yang digendong dukun bayi diturunkan ke tanah dan dimasukkan ke dalam kurungan yang telah diberi benda-benda tersebut di atas.
2.      Setelah bayi dimasukkan, dilihat, ia mengambil apa dan dukun bayi membaca doa
3.      Kurungan di buka, bayi digendong kembali oleh dukun bayi sembari menyebarkan uang tersebut di atas pada warga (bermakna dan bertujuan agar si bayi menjadi orang dermawan)
4.      Bayi dimandikan
5.      Bubur cadhil dan nasi urap dibagikan pada warga (makna dan tujuan sama dengan nomor tiga)
2.4.2        Tedhak Siti Menurut Responden
1.      Responden 1 (Maryam, 37 tahun, ibu rumah tangga)
Saat ditanya mengenai apa itu Tedhak Siti, beliau mengaku tidak tahu nama upacara Tedhak Siti adalah “Tedhak Siti”. Ia menyebutnya dengan upacara dhun-dhunan bayi. Menurutnya, alat-alat yang dibutuhkan yaitu, tasbih, uang, kaca, alat tulis dan kurungan. Disamping itu, menggunakan uang receh untuk disebarkan pada warga yang menyaksikan Cara penyebarannya disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut). Ia menambahkan bahwa, upacara Tedhak Siti ini wajib dilaksanakan karena kepercayaan masyarakat, yaitu jika tidak dilaksanakan, si bayi akan sulit berjalan.
2.      Respoden 2 (Hj. Royati, 57 tahun, ibu rumah tangga)
Lebih kurangnya sama dengan responden 1. Tambahannya mengenai makanan yang terdapat saat upacara berlangsung, yaitu bubur cadhil dari tepung pati, nasi urap yang berisi sayuran, mie goreng, ikan goreng, cecek. Selain itu, menambahkan bahwa sebelum upacara Tedhak Siti dilaksanakan, saat bayi berusia 40 hari diadakan syukuran yang disebut slametan dengan memotong rambut bayi yang dilakukan oleh kakeknya baru kemudian peringatan tujuh bulan si bayi yang ditepatkan dengan hari lahirnya si bayi.
3.      Responden 3 (Thoha, usia 32 tahun, sekretaris desa)
Sepengetahuannya mengenai sejak kapan Tedhak Siti dilaksanakan di daerah ini, beliau mengaku tidak tahu pasti karena warga sekitar belum ada yang mendokumentasikan secara tertulis maupun secara lisan tentang asal mula Dhun-dhunan di desa ini.
4.      Responden 4 (Aunur Rohman, 17 tahun, pelajar SMA)
Ia menyebutkan urutan pelaksanaan Tedhak Siti, yaitu dimulai dari bayi yang dikurung dengan kurungan ayam, didalam kurungan tersebut bayi memilih sesuatu. Dilanjutkan dengan membagikan uang kepada masyarakat sekitar, terus makan nasi, dan keluarga bayi membagikan bubur cadhil.
5.      Responden 5 (H. Imron Kamsari, 45 tahun, pengusaha)
Berkaitan dengan perkembangan jaman, beliau mengatakan bahwa Tedhak Siti masih pantas dilaksanakan, karena itu merupakan warisan nenek moyang kita. Tapi memang masyarakat sekarang tidak banyak yang mengetahui makna apa yang terkandung dalam upacara tersebut.
6.      Responden 6 (Abdul Basit, 28 tahun, wirausaha)
Menyatakan bahwa Tedhak Siti merupakan tradisi warisan dari dulu yang masih dilestarikan masyarakat sampai sekarang. Jika tidak melaksanakannya, masyarakat khawatir akan mendapat bala’ atau musibah.
7.      Responden 7 (Aziz, 19 tahun, mahasiswa)
Yang diketahui dari Tedhak Siti tersebut adalah didalam kurungan itu disediakan barang-barang, barang yang diambil bayi itu akan menggambarkan masa depan bayi. Seperti bayi tadi mengambil tasbih, maka bisa saja kelak dia akan menjadi seorang yang ahli di bidang agama Islam.
8.      Responden 8 (Kyai Abdurrahim, 35 tahun, tokoh masyarakat)
Berpendapat bahwa jika dihubungkan dengan agama Islam, selagi itu tidak melanggar syariat, tidak masalah. Karena juga merupakan budaya kita yang sudah mendarah daging.
9.      Responden 9 (Hj. Karti, usia 57 tahun, petani)
Berkaitan dengan adakah dampak bagi keluarga yang tidak melaksanakan Tedhak Siti, beliau menjelaskan bahwa warga masih mempercayai kedalaman makna yang terkandung dari Dhun-dhunan (Tedhak Siti), karena merasa khawatir akan terjadi apa-apa jika tidak dilaksanakan. Tetapi pernah juga ada yang tidak melaksanakan dan tidak terjadi apa-apa. Meskipun demikian, mayoritas tetap melaksanakannya.
10.  Responden 10 (Abdillah, 12 tahun, pelajar SMP)
Menyebut upacara Tedhak Siti dengan nyebar dhuwit. Karena hal yang paling diketahuinya dari rangkaian upacara tersebut adalah saat uang receh disebarkan dan warga yang menyaksikan berebut mengambil uang tersebut. Ia menambahkan bahwa, upacara ini dilaksanakan agar si bayi selamat dunia akhirat. Yang diketahui selanjutnya adalah bayi yang dimasukkan dalam kurungan tersebut dibimbing agar mengambil salah satu benda yang sudah disediakan, setelah itu bayi dikeluarkan dan dibacakan doa oleh sang dukun.
 BAB IV
PENUTUP

3.1                    Kesimpulan
Tedhak Siti merupakan salah satu bentuk folklor setengah lisan yang masih ada dan dilaksanakan di masyarakat Jawa. Meskipun sudah mengalami perubahan dan perkembangan, namun tidak meninggalkan aturan-aturan yang berlaku, baik tata cara maupun sarana prasarananya. Ia berasal dari kata “tedhak” yang berarti turun dan “siti” yang berarti tanah. Secara keseluruhan berarti turun (ke) tanah, bagi bayi yang berusia tujuh bulan (tujuh lapan) sebagai arti simbolis bayi dikenalkan dengan tanah kelahirannya dan agar ia tahu dengan keadaan dunia luar dalam kehidupannya kelak.
Dari hasil observasi kami mengenai Tedhak Siti di dukuh Kentingan, Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, upacara tersebut masih sering dilaksanakan karena mereka (yang bersangkutan melaksanakan upacara tersebut) beranggapan bahwa Tedhak Siti merupakan suatu proses untuk mengantarkan dan mengenalkan bayi pada dunia luarnya dengan harapan keselamatan, kesehatan, kemakmuran dunia akhirat dan sebagai rasa syukur karena bayi telah berusia tujuh bulan. Tedhak Siti di daerah tersebut terbilang sederhana, karena yang terpenting adalah makna, harapan dan tujuannya terutama bagi keluarga yang melaksanakan. Disamping itu, terserah bagaimana akan dilaksanakan, bergantung dari kondisi ekonomi yang bersangkutan.
3.2        Saran
Dalam masyarakat Jawa ini, terdapat beragam folklor. Salah satunya Tedhak Siti yang masih bertahan di beberapa daerah saja. Seyogyanya, kita, baik masyarakat maupun pemerintah mengupayakan agar Tedhak Siti tersebut tetap lestari dengan langkah awal mengenal dan memahaminya, apa, kapan dan bagaimana Tedhak Siti itu.
DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
PEDOMAN PELAKSANAAN OBSERVASI UPACARA TEDHAK SITI
DI DUKUH KENTINGAN, DESA PAKUMBULAN,
KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN
A.    Susunan Kepanitiaan
1.      Ketua                                                              : M. MIRZA ROFIQ
2.      Sekretaris                                                        : ESTHININGTYAS K. H.
3.      Bendahara                                                       : SUPRIYATI
4.      Unit-unit                                                  
-          Unit Survey & Lokasi                                       : BANGKIT W.
-          Unit Pembuatan Pedoman                              : ARIE RETNONINGSIH
      RIDZKY ERLIENDA Y.
-          Unit Pelaksanaan Wawancara                       : FAHMI ABDILLAH
-          Unit Dokumentasi                                          : DANANG SEDYO L.
-          Unit Verifikasi Data                                       : AMITA WAHYU S.
5.      Humas                                                             : RIRIN PRIHATININGTYAS
     ISNA FITRI OKTAVIANI
B.     Job Description
1.      Ketua                                      : Mengkoordinasi anggota dan kegiatan
2.      Sekretaris                                : -Menyiapkan administrasi yang dibutuhkaN.
 - Mencatat hasil wawancara
3.      Bendahara                               : - Mengumpulkan dana yang diperlukan.
  - Mengalokasikan dana
4.      U. Survey  & Lokasi               : - Mencari dan menentukan lokasi kegiatan.
  - Meninjau lokasi sebelum kegiatan
5.      U. Pembuatan Pedoman         : - Membuat daftar pertanyaan.
  - Menentukan narasumber.
  - Membuat agenda kegiatan
6.      U. Pel. Wawancara                 : Mengkoordinasi pewawancaraan
7.      U. Dokumentasi                      : - Mencari dokumentasi data folklore.
  - Menyiapkan peralatan dokumentasi.
  - Mendokumentasikan kegiatan
8.     U. Verifikasi data                  : Mengelompokkan dan mengumpulkan data hasil observasi di lapangan
9.      Humas                                     : - Pengurusan surat izin.
    - Pelobian tempat kegiatan
C.    Deskripsi Rencana Kerja
a.      Persiapan
-          Survey                                     : Folklore setengah lisan “Upacara
  Adat Tedhak Siti”
-         Tempat dan waktu survey       : Batang, Pekalongan, Tegal, 4 November 2011
-          Penentuan lokasi                    : 9 November 2011
b.      Lokasi, Waktu dan Pelaksanaan Kegiatan
-          Tempat                        : Dukuh Kentingan, Desa Pakumbulan,
       Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan
-          Waktu                         :  Jumat, 25 November 2011; 05.00 – 18.00.
-          Pelaksanaan Kegiata  :
Sesampai lokasi, tim mengikuti dan mengamati kegiatan yang ada. Pelaksanaan wawancara dikoordinasi oleh koordinator dengan mewawancarai narasumber utama dan beberapa responden.
1.      PJ Umum                    : M. MIRZA ROFIQ
2.      PJ Responden             : FAHMI ABDILLAH
c.       Dasar Pemilihan dan Penentuan Objek dan Lokasi Observasi
1.      Untuk mengetahui upacara Tedhak Siti (pada umumnya) di daerah Pekalongan
2.      Sedang berlangsungnya upacara tersebut pada waktu yang ditetapkan untuk observasi
3.      Dengan menyaksikan secara langsung, akan jelas mengenai apa upacara Tedhak Siti itu?; apa saja persiapan dan syaratnya?; bagaimana prosesnya?; kapan pelaksanaannya?; mengapa dilaksanakan upacara demikian? dan apa tujuannya?.
4.      Jarak dan lokasi observasi terjangkau dari pusat pemberangkatan (Kampus Universitas Negeri Semarang, Sekaran, Gunung Pati, Semarang).
d.      Jadwal Kegiatan
No.
WAKTU
AGENDA KEGIATAN
1.
05.00 – 05.30
Persiapan pemberangkatan
2.
05.30 – 07.30
Pemberangkatan
3.
07.30 – 10.00
Tiba di lokasi dan pelaksanaan kegiatan
4.
10.00 – 11.00
Pelaksanaan wawancara dengan narasumber
5.
11.00 – 13.00
ISHOMA
6.
13.00 – 15.30
Pelaksanaan wawancara dengan narasumber utama
7.
15.30 – 17.00
ISHOMA dan rekap hasil pelaksanaan kegiatan
8.
17.00 – 18.00
Lain-lain dan persiapan pulang

e.       Daftar Pertanyaan
1.      Tahukah Anda mengenai Tedhak Siti beserta prosesi dan perlengkapannya?
2.      Mengapa masih percaya dan melaksanakan upacara Tedhak Siti?
3.      Apakah ada perubahan dalam tata cara, perlengkapan hingga pelaksanaan upacara Tedhak Siti antara dulu dan sekarang? Jika ada, apa?
4.      Apa kaitannya upacara Tedhak Siti dengan kepercayaan, jika ditinjau dari segi agama?
5.      Apakah upacara Tedhak Siti itu wajib dan adakah hukuman norma atau moral jika tidak melaksanakan upacara Tedhak Siti?
f.       Anggaran Biaya Observasi
NO.
KETERANGAN
NOMINAL
1.
Saldo masuk: Rp. 40.000,- x 11
Rp.         440.000,00
2.
Pengeluaran


1.      Perlengkapan bayi
Rp.           94.000,00

2.      Souvenir narasumber Rp. 5000,- x 15
Rp.           75.000,00

3.      Oleh-oleh
Rp.           30.000,00

4.      Cetak, fotokopi, jilid, CD
Rp.           25.000,00 -


 Rp.        216.000,00
3.
Saldo Akhir
Rp.         216.000,00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar